Pendidikan di Indonesia merupakan satu sektor yang paling banyak mendapat perhatian. Bukan karena pentingnya sektor ini tetapi karena semua permasalahan tampak menyatu di dalam sektor ini dan sampai sekarang permasalahan tersebut jangankan terurai dan dapat diselesaikan, bahkan usaha pemetaan masalahnya pun masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera usai. Semua usaha sebenarnya telah dilakukan, hanya saja tidak jarang usaha tersebut dilakukan setengah hati atau bahkan tidak jarang menggunakan cara yang sangat tidak elegan seperti mengedepankan sebuah jargon baru dengan isi yang sebenarnya sudah lama ada. Akibatnya tentu saja mudah ditebak, persoalan yang ada bukannya diselesaikan tetapi justru ditambah.
Persoalan lain yang juga tidak kalah merisaukannya adalah munculnya anggapan karena sebuah jargon berhasil dikedepankan lengkap dengan argumentasi akademisnya maka persoalan pendidikan dianggap telah selesai. Padahal anggapan semacam ini tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Jargon penting, motto penting, penentuan visi dan misi juga penting. Tetapi jika hanya berhenti sampai di sini lalu beranggapan bahwa semuanya ’beres’ maka tentu saja salah besar. Persoalan lama dalam dunia pendidikan bukan saja tidak terselesaikan – dan mungkin memang tidak akan pernah terselesaikan - tetapi sejumlah persoalan baru ternyata terus menerus ditambahkan.
Pendidikan Holistik Dunia
Sebagai bagian dari filsafat pendidikan, pendidikan holistik didasarkan pada premis bahwa setiap orang mampu menemukan jati diri, makna, dan tujuan hidup dalam kaitannya dengan masyarakat, alam, dan nilai-nilai kemanusiaan seperti perhatian, kasih sayang dan perdamaian. Pendidikan holistik bertujuan menggali dari setiap orang potensi jati diri dan kemampuan untuk mengasihi sesama ditambah dengan kecintaan untuk terus menerus belajar dan mempelajari ilmu pengetahuan. Definisi ini diyakini berasal dari Ron Miller, orang yang dikenal memprakarsai jurnal Holistic Education Review. Pada perkembangan berikutnya istilah ini seringkali dikaitkan dengan tipe pendidikan yang lebih demokratis dan berwajah kemanusiaan.
Robin Ann Martin (2003) mengatakan, seperti yang dicatat dalam situs http://en.wikipedia.org/wiki/Holistic_education, bahwa pada tingkatan yang lebih umum, apa yang membedakan pendidikan holistik dengan jenis pendidikan lainnya ternyata terletak pada tujuannya, pada perhatiannya terhadap pengalaman pembelajaran, dan pada kesepakatan meletakkan pendidikan dalam kaitannya dengan nilai-nilai utama kemanusiaan dalam lingkungan pembelajaran.
Scott H. Forbes dan Robin Ann Martin dalam sebuah makalah – berjudul What Holistic Education Claims About Itself: An Analysis of Holistic Schools’ Literature - yang dipresentasikan pada Konferensi Tahunan Para Peneliti Pendidikan Amerika yang diselenggarakan pada bulan April 2004 di San Diego, California, menegaskan bahwa jika seseorang mencoba merunut asal muasal pendidikan holistik pasti akan menemui kesulitan karena konsep ini pada dasarnya sudah ada sejak zaman dulu dan dapat ditemukan dalam hampir semua konsep pendidikan yang salah satu daya pendorongnya adalah sikap religius kemanusiaan.
Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa nama-nama seperti Jean-Jacques Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Fröbel, and Francisco Ferrerjuga berkontribusi besar dalam pembentukan konsep pendidikan holistik. Jejak-jejak pemikiran mereka yang tersebar dalam banyak karya – sastra, filsafat, pendidikan, dan kajian humaniora lainnya – dapat dilacak perannya dalam konsep ini. Para teoris yang lebih modern seperti Rudolf Steiner, Maria Montessori,Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner,Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, and Paulo Freire, suka atau tidak suka, juga harus diakui mempunyai andil dalam pendidikan holistik, meskipun apa yang dikenal sebagai pendidikan holistik ketika itu memang belum mencapai bentuknya yang sekarang.
Bentuk pendidikan holistik mulai muncul pada era tahun 1960-an, ketika pergeseran paradigma kebudayaan mulai terjadi, Berikutnya pendidikan holistik dalam ranah psikologi muncul pada era 1970-an. Era ini ditutup dengan sebuah konferensi interrnasional tentang pendidikan holistik yang diselenggarakan oleh universitas California di San Diego pada bulan Juli 1979. Pemrakarsa konferensi internasional ini adalah Mandala Societydan Pusat Eksplorasi SDM.
Perkembangan berikutnya dapat dilihat pada sejumlah institusi pendidikan – dasar, menengah atau tinggi – yang menerapkan konsep bahwa pendidikan holistik berkaitan langsung dengan masalah hubungan antar sesama, dengan tanggung jawab, dan dengan penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri.
Pendidikan Holistik PH
Ada sejumlah institusi pendidikan tinggi yang menyatakan – secara berterang atau tidak berterang – bahwa konsep dasar yang digunakan adalah konsep holistik. Salah satu diantaranya adalah institusi pendidikan tinggi yang berlokasi di dekat Jakarta.
Menurut tokoh penting di balik insitusi pendidikan ini, pertanyaan fundamental yang harus ditanyakan dalam kaitannya dengan bidang pendidikan adalah ’siapa yang memiliki anak-anak?’ atau ’siapa yang menjadi pemilik anak-anak-anak muda?’ Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi penting karena berdasarkan jawaban inilah orientasi pendidikan seseorang akan terungkap dengan sendirinya.
Di negara sosialis atau komunis semua orang menjadi milik partai. Anak-anak pun menjadi milik partai. Bahkan ketika berada di rumah pun anak-anak menjadi milik partai atau milik negara. Maka dari itu tidak mengherankan jika anak-anak dibesarkan dan dididik berdasarkan sistem yang telah ditentukan oleh negara.
Di Indonesia – sebuah negara yang mempunyai falsafah Pancasila – semua orang termasuk anak-anak dipersepsikan menjadi milik masyarakat. Maka dari itu semua orang dididik sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dan karena masyarakat Indonesia sekarang ini berada dalam era yang dikendalikan oleh bisnis dan industri – termasuk di dalamnya bisnis dan industri dunia maya – maka masyarakat tampaknya menjadi puas jika anak-anak mereka memperoleh pendidikan yang memampukan generasi muda untuk masuk dan berkompetisi dalam dunia yang seperti ini.
Pada bagian lain dunia – dunia timur - anak-anak dianggap sebagai milik orang tua, tepatnya miliknya sang ayah. Dalam masyarakat yang seperti ini kesulitan muncul karena keinginan masing-masing ayah dapat berbeda satu sama lainnya. Akibatnya dapat ditebak dengan mudah. Ada beragam keinginan, ada beragam kepentingan. Yang satu dapat saja berbeda secara ekstrim dengan yang lain, sehingga pendidikan menciptakan peluang untuk hidup yang lebih seimbang menjadi sangat kecil atau bahkan tidak ada.
Tampak jelas bahwa tiga pandangan yang telah disebut ini menyebabkan orientasi pendidikan tidak holistik. Orientasi dapat dikembalikan ke jalur holistik jika setiap orang percaya dan yakin bahwa anak-anak milik Tuhan. Jika anak-anak milik Tuhan, maka otoritas yang dimiliki orang tua bukan berasal dari orang tua itu sendiri, melainkan berasal dari Tuhan. Maka dari itu orang tua tidak dapat seenak-perutnya mengatur dan memaksanakan kehendak pada anak-anak. Anak-anak bukan milik mereka, tetapi milik Tuhan, karenanya hanya berdasarkan perintah Tuhan-lah seharusnya anak-anak dibimbing dan memperoleh pendidikan. Pertanyaanya, perintah Tuhan yang mana? Tentu saja perintah Tuhan dalam kitab suci.
Sampai di sini tentu saja tidak ada masalah. Semua orang Indonesia sepakat bahwa salah satu sumber panduan pembinaan kehidupan adalah kitab suci. Dunia pendidikan harus melandaskan dirinya pada kitab suci. Tetapi hal yang sederhana ini menjadi masalah, manakala realitas menyatakan bahwa mereka yang menggebu-gebu menyuarakan masalah pendidikan holistik justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi kitab suci. Atau dengan kata lain apa yang terjadi bila mereka yang meyakini bahwa dunia pendidikan yang baik adalah pendidikan yang holistik, dan pendidikan yang holistik adalah pendidikan yang berusaha menghasilkan manusia-manusia yang kehidupannya seimbang, dan manusia yang hidupnya seimbang selalu dituntun oleh kitab suci, justru melakukan manipulasi perbuatan yang tidak sesuai dengan isi kitab suci? Apakah seperti potret buram dunia pendidikan tinggi kita yang sekarang ini?
Jadi disinilah kunci permasalahannya. Keteladanan – sebuah kata yang semakin langka ditindaklanjuti oleh banyak orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sayang memang, tetapi itulah faktanya!
Dr. Tri Budhi Sastrio
Universitas Pelita Harapan - Surabaya
(Dikutip dari http://www.dikti.go.id/)